Tulisan ini sebagai ungkapkan/ harapan dan gagasan yang ingin menginspirasi para praktisi perbankan syariah dalam mengembangkan Bank Syariah di Indonesia (bagian 1). Ide ini tidak hanya invotif tapi juga applicable (bagian 2). SELAMAT MEMBACA!
( Bagian 1 )
Bank Syariah Idaman Saya : Agar Akad Syariah Tidak Jatuh Pada Riba
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa, yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung, akan terkena debunya.” (Hr. Nasa`i, no. 4455, namun dinilai dhaif oleh al-Albani)
Meski secara sanad hadits tersebut lemah, namun makna yang terkandung di dalamnya benar. Dan itulah realita zaman sekarang ini. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi konsumsi publik. Dalam tulisan blognya, Bahtiar HS, seorang student pada program beasiswa Chartered Islamic Finance Professional (CIFP) yang diselenggarakan oleh INCEIF (The International Centre for Education in Islamic Finance) Malaysia bekerjasama dengan Departemen Ekonomi Syariah Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga Surabaya, menulis, “Sungguh menyentak pemahaman saya ketika membaca penjelasan seorang ustadz di website pengusahamuslim.com[1-3] Perihal transaksi Murabahah yang bisa tetap jatuh dalam kategori riba (al-riba) yang dilarang dan bukan sekedar jual beli (al-bai’) yang dihalalkan oleh syariat.” [4]
Bahtiar melanjutkan tulisannya dengan menyatakan bahwa transaksi Murabahah itu sebenarnya pada hakekatnya adalah transaksi hutang-piutang. Kita tahu bahwa Murabahah adalah transaksi jual beli dimana baik penjual dan pembeli sama-sama mengetahui harga beli barang yang ditransaksikan. Penjual dan pembeli juga sepakat dengan margin bagi hasil yang diambil penjual dalam transaksi jual beli tersebut.
Dimana Murabahah yang jatuh kepada riba itu? Kuncinya adalah bahwa setiap akad hutang-piutang, maka keuntungan atau tambahan yang dipersyaratkan dan disepakati kedua belah pihak dari pokok pinjaman adalah riba. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits dimana sahabat Fudholah bin Ubaid radhiyallahu ‘anhu berkata, “Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/ keuntungan, maka itu adalah riba.” (HR. al-Baihaqy). Baca al-Muhadzdzab oleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain.
Senada dengan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Melarang salaf (piutang) bersama jual-beli.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh al-Albani). Yang dimaksud dengan salaf ialah piutang, kata salaf adalah bahasa orang-orang Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya).
Bagaimana mengetahui apakah transaksi yang ditawarkan sebuah bank itu akad hutang-piutang ataukah murabahah? Contoh KPR:
1. Siapakah pihak yang mendatangkan barang itu (selaku penjual) kepada kita (selaku pembeli)? Bila bank yang mendatangkan barang itu (misal rumah) kepada kita, artinya bank sebagai penjual, maka transaksi itu masuk perniagaan biasa (murabahah) dimana kita selaku pembeli. Tetapi apabila kita (sebagai pembeli) justru yang mendatangkan barang itu kepada
bank, untuk mereka beli lebih dulu (talangan), lalu dijual kepada kita lagi, maka hal itu berarti masuk akad hutang-piutang (mencicil talangan).
2. Kepada siapa kita (selaku pembeli) mengajukan keberatan atau komplain jika ada masalah terhadap barang yang kita beli melalui akad itu, baik karena kerusakan atau cacat? Bila bank tidak mau menerima komplain dan tidak bertanggungjawab terhadap kerusakan atau cacat barang yang kita beli dalam akad itu, berarti bank tidak berlaku sebagai penjual (yang harusnya bertanggungjawab tentang hal itu). Ini berarti akad yang terjadi bukanlah murabahah, melainkan hutang-piutang. Namun bila bank mau bertanggungjawab, maka bank menempatkan dirinya selaku penjual, sehingga akadnya masuk kategori Murabahah biasa.
Belum lagi status Down Payment (DP) dalam transaksi sewa beli ini yang selalu dipersyaratkan (10-20%). Hal ini semakin menidakjelaskan status kepemilikan barang tersebut.
Ini berarti, proses KPR di bank syariah pada hakekatnya adalah akad hutang-piutang, meski secara hitam di atas putih akad murabahah. Dengan demikian, pengenaan margin keuntungan oleh bank kepada pembeli pada hakekatnya adalah tambahan atas pokok pinjaman yang jatuh kepada riba –menurut penjelasan di atas. Perubahan sekedar nama menjadi Murabahah itu tidak mengubah status hukumnya sebagai hutang-piutang.
Jadi, bagaimana dengan KPR kita di bank syariah? Bukankah demikian yang terjadi di lapangan? Apakah itu berarti proses bank mendapatkan rumah yang kita upayakan hanyalah akal-akalan agar bisa dibentuk akad murabahah antara bank dengan kita dan terhindar dari Riba. Akadnya jadi gharar/ tidak jelas.
Riba adalah benang merah yang dapat muncul diantara tijaroh (bisnis) dan tabarru (kebajikan). Mengapa terjadi? Karena pada hakikatnya manusia cenderung menghindari kerugian, ketidakpastian, kehilangan keuntungan, dll. Sehingga dengan adanya tambahan yang lebih menjanjikan (guarranted) lebih disukai. Dalam investasi (bisnis), baik tijaroh maupun tabarru, pemilik uang tidak ingin rugi dan ketika meminjamkan berharap sepenuhnya harta kembali. Selain itu yang dipinjamkan bernilai investasi, maka berharap bertambah dikemudian hari.
Jika dikelompokan, secara umum akad syariah dapat ditarik dari 2 kepentingan yaitu; Tijaroh (bisnis) dan Tabarru (Al Qard Al Hasan). Dalam tijaroh meliputi transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli (murabahah), sewa-menyewa, syirkah (penggabungan yang meliputi musyarakah dan mudharabah, dll. Sementara dalam tabarru meliputi transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain (Al Qardh Al Hasan), misalnya hutang-piutang, hibah (takafuli/ ta’awun/ asuransi) dan lain-lain. Juga transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian/ jaminan dan lain-lain.
Ada 2 istilah yang lazim digunakan dalam akad sewa beli, yaitu Ijarah Muntahiya Bittamlik dengan menyandarkan pada akad Murabahah (jual Beli) dan Musyarakah Mutanaqishah yang menyandarkan pada kerjasama kepemilikan. Pada prakteknya, yang jadi persoalan adalah manakala nasabah mengalami ketidak mampuan bayar atau pembatalan akad/ pengakhiran sewa beli dalam masa kontrak, baik keterlambatan atau bahkan ketidakmampuan sementara, bahkan hingga ketidakmampuan yang lebih berat lagi (tetap). Jika di denda jelas tambahan biaya tersebut sebagai riba, jika dibebaskan kemungkinan kecil bisa terjadi. Karena biasanya berakhir pada penyitaan aset, umumnya nasabah dalam posisi yang kurang menguntungkan.***
Ketika permasalahan ini (akad syariah yang masih bisa jatuh pada riba) Penulis (
Syariah Financial Planner) wacanakan baik pada praktisi keuangan maupun nasabah, banyak yang komplain karena bukan pada tempatnya. Maksudnya, kebijakan seperti ini seharusnya masuk wilayah kajian Dewan Syariah Nasional (DSN), dan saat ini kita dituntut untuk menghormati fatwa-fatwa yang sudah dikeluarkan. Untuk itulah Penulis berusaha mengedepankan solusi ini agar bisa menjadi wacana, dan syukur-syukur bisa diterapkan di lembaga keuangan saat ini. Lebih jauh lagi dapat mensinergikan peran lembaga keuangan komersial dengan lembaga zakat.
Perencanaan keuangan (
financial planning) pribadi/ keluarga tak lepas dari sistem pengelolaan keuangan secara makro (umum), yaitu terkait sistem ekonomi dan lembaga keuangan. Ada bebrapa praktek lembaga keuangan saat ini yang tidak syariah, ilustrasinya seperti ini (diambil dari kasus nyata); contoh; akad murabahah leasing (jual beli dan sewa), misalnya kendaraan bermotor dibeli dari dealer harga 15 juta kemudian dijual ke konsumen oleh lembaga pembiayaan 22 Juta dengan dicicil 600 ribu untuk 35 kali dengan DP 1 juta, status sewa beli.
Intinya akad ini menghindari akad kredit yang mengandung riba. Namun, jelas dilihat dari skenario ini kurang memenuhi unsur pemberdayaan dan lebih memperdaya. Ujung-ujungnya ya konsumen harus membayar lebih mahal kan untuk suatu produk konsumsi. Padahal kendaraan itu kalau dijual lagi paling laku 9 jutaan setelah 35 bulan kemudian. Konsumen 2 kali dirugikan, pertama dari 15 ke 22 juta saja margin yang tidak wajar dalam jual beli (untuk menghindari riba maka akad jual di mark up oleh leasing). Kedua, dari penyusutan nilai jual menjadi 9 juta (15-9 juta =6 juta). Total nilai “kerugian secara uang” bagi konsumen sekira 13 juta atau setara 60%, yang jadi pertanyaan adalah benefit yang didapat dari cicilan tersebut apakah menjadi lebih dari 60%, artinya jika penghasilan 1 juta saat mencicil dengan kendaraan tersebut 35 bulan kemudian setara/ naik menjadi 1,6 juta tidak? Hal ini untuk mengukur bahwa utang itu bersifat produktif atau konsumtif.
Belum lagi ada yang mensyaratkan denda (pada kasus ini nasabah masih harus nombok 2 juta agar BPKB bisa diambil). Kerancuan status sewa beli ini adalah utang piutang. Dalam surat Al Baqarah ayat 280; “Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” Hanya ada 2 kemungkinan bagi penghutang (debitur); diringankan/ ditangguhkan, dan dibebaskan. Nah praktek ini tidak mungkin dilakukan katanya, bagaimana pun perusahaan (kreditur) tidak mau rugi dengan membebaskan. Maka Al Qur’an sudah memberikan solusi dengan menurunkan ayat ke 60 surat At Taubah, dimana gharimin berhak mendapat santunan (senada dengan tafsir surat Al Baqarah ayat 275-281, kitab Fi Zilalil Qur’an karya Sayid Qutubh). Namun kriteria gharimin tersebut juga sangat tegas, sehingga jarang sekali lembaga zakat yang menyalurkan dananya untuk menyelesaikan masalah ini, sehubungan dengan kriteria gharimin yang seperti apa yang berhak disantuni untuk membebaskan hutangnya (konsumtif, produktif, atau benar-benar bangkrut/ pailit sama sekali).
Agar akad syariah ini tidak jatuh pada riba, solusi untuk akad pembiayaan ini ya dengan memetakan dulu gambaran yang sebenarnya (tidak gharar), dengan mencampuradukan akad tijaroh (bisnis/ komersial) dan akad tabarru (kebajikan). Kenapa nasabah tidak dikenakan akad tijaroh murni (sewa beli) tanpa melibatkan tabarru (kredit), karena lembaga keuangan ini termasuk komersial. Dimana dalam akad barang yang digunakan tidak dibeli untuk sementara waktu tapi sewa, misalnya ongkos sewa 300 ribu per bulan atau 10 ribu per hari (komposisi ini dapat disesuaikan secara teknis, baik baku maupun fleksibel yang ditentukan oleh nasabah dan pihak pembiayaan). Kemudian jika ingin memiliki barang, nasabah diwajibkan menyetor 300 ribu untuk ditabung, jadi jika sudah 3 tahun/ 35 bulan (tabungannya sekira Rp 10.800.00, jika diinvestasikan tentu nilainya akan lebih dari pokok yang disetorkan, sekalipun pada jenis instrumen investasi yang konservatif).
Maka di tahun ketiga, nasabah sudah bisa memiliki kendaraan tersebut dengan membelinya seharga tunai, setelah memperhitungkan biaya penyusutan barang setelah 3 tahun yang harganya lebih renda dari harga baru (dalam kasus ini 3 tahun kemudian barang setara 9 juta dari harga baru senilai 15 juta). Jika dalam masa kontrak terjadi masalah, misalnya ketidak sanggupan bayar, berarti yang harus dibayar adalah sewanya, bukan keseluruhan tagihan. Jadi benar-benar akad bisnis (tijaroh), kalo sampai tidak mampu lagi, atas sepengetahuan nasabah, tabungannya yang dijadikan biaya untuk membayar sewa dan otomatis nasabah harus menutupi kekurangan tabungan atau menambah waktu penyetoran. Bukan malah didenda yang akan jatuh pada riba, atau disita asetnya, dll. Karena kondisi ini bisa saja terjadi pada periode cicilan yang sudah lebih dari setengah masa kontrak, atau bahkan menjelang akhir kontrak.
Status kepemilikan kendaraan jadi masih tetap milik perusahaan (sementara mengenai nama dalam administrasi bukan jadi persoalan, hanya untuk memudahkan), yang penting dalam kontrak atau akad jelas yang sewaktu-waktu barang dapat ditarik (jika diakad diperjanjikan nilainya, maka tabungan bisa menjadi jaminan menggantikan kerugian atas perilaku nasabah yang baik dengan sengaja atau tidak merusak barang sewaan).
Untuk menyiasati akad-akad yang sudah ada dan mengoperasionalkan secara win-win solution, baik nasabah maupun lembaga keuangan, intinya setoran (cicilan) yang selama ini dilakukan oleh nasabah senantiasa diperlakukan untuk dua kepentingan; 1. Tabungan (saving/ deposit) yang diinvestasikan sebagai bentuk jaminan dikemudian hari dari nasabah, 2. Pembayaran ijarah/ sewa/ biaya-biaya yang sudah diperhitungkan lembaga keuangan yang timbul akibat perjanjian tersebut, besar dan waktunya sudah ditetapkan lembaga keuangan diawal untuk kemudahan pembukuan.
Keuntungan cara tersebut memberikan memberikan kepastian dan kebebasan duabelah pihak. Bagi lembaga keuangan biaya yang sudah ditetapkan akan terjamin pembayarannya. Sementara bagi nasabah keringanan-keringanan dapat dari adanya “rekening ganda” tersebut, artinya dana yang disetor bukan saja sebagai pemenuhan kewajiban, namun juga deposit yang sekaligus berfungsi sebagai investasi manakala terjadi masalah dikemudian hari.
Skema ini tersebut berlaku untuk KPR, kartu kredit, dan produk-produk keuangan lainnya. Bahkan KPR bank lebih memungkinkan sistem tersebut dilakukan (sewa dan saving). Jika selama ini tidak terjadi praktek semacam itu solusi terbaik untuk menghindari riba hanyalah membeli tunai, jika masih menggunakan jasa pihak ketiga (bank atau leasing) tetap belum memenuhi kaidah syariah karena kerancuan dalam akad, jika tidak meluruskan skema akad. Wallahua’lam. Barakallahu lakum***
Sumber :
Artikel ini dipublikasikan untuk iB Competition
http://ib-bloggercompetition.kompasiana.com/2010/10/25/agar-akad-syariah-tidak-jatuh-pada-riba/
TULISAN ASLI DIPUBLIKASIKAN DI:
Simak profile penulis disini: